CALUNG
PENDENDANG MURKA
Judul novel :
Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang :
Ahmad Tohari
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Kota terbit :
Jakarta
Tahun : 2011
Halaman : 408 halaman
Untuk lelaki, perempuan,
dan anak-anak Dukuh Paruk.
Sebuah novel trilogi dari Ahmad Tohari yang
menawan. Ronggeng Dukuh paruk adalah kesatuan dari tiga buah buku yaitu,
Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala. Ahmad
Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalamaan hidup kedesaannya. Maka
hampir semua karyanya adalah lapisan bawah dengan latar alam. Dia memiliki
keasadaran dan wawasan alam yang begitu jelas terlihat pada tulisan-tulisannya.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini
mengulas keadaan rakyat yang terletak di daerah terpencil dan jauh dari naungan
rakyat penguasa dan tentang peradaban zaman. Bertahan pada keprimitifan yang
dengan kepongahannya. Mengeramatkan seorang bromocorah, Ki Secamenggala.
Mengagung-agungkan calung dan ranumnya ronggeng sebagai jati diri sebuah
pedukuhan. Miskin, terbelakang,
kudisan, kelaparan, gaplek dan tempe bongkrek sebagai penghias alami pedukuhan
ini.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini mengisahkan
seorang gadis belia yang harus menjadi seorang Ronggeng. Seorang gadis yatim
piatu, bernama Srintil. Dia tinggal di sebuah desa yang bernama Dukuh Paruk.
Gadis yang masih belia itu harus rela ketika ia dinobatkan menjadi seorang
Ronggeng. Penduduk di daerah tersebut dengan gembira menyambut hadirnya seorang
Ronggeng sebab hal itu adalah citra Dukuh Paruk sebagai Dukuh Ronggeng yang
mampu bangkit kembali dari keterpurukan. Daerah
yang kering kerontang, sepi, akan diramaikan lagi dengan tamu dari berbagai
desa, uang pun berlimpah di atas panggung Ronggeng Srintil.
Harumnya, keramatnya Ki Secamenggala kembali menyelimuti keadaan di
Dukuh Paruk. Seorang yang paling bahagia dengan penobatan Srintil sebagai
seorang Ronggeng adalah Sukarya dan istrinya. Mereka adalah kakek dan nenek
Srintil. Mereka merasa usaha mengasuh Srintil dari kecil hingga kini Srintil
beranjak menjadi seorang gadis belia yang menawan tidak sia-sia. Srintil diasuh
oleh kakek dan neneknya karena orang tua Srintil telah meninggal dunia
disebabkan keracunan tempe bongkrek
sebelas tahun yang lalu. Hingga kini kakek dan neneknya berhasil untuk
menjadikan Srintil sebagai seorang ronggeng telah direstui keramat Dukuh
Ronggeng, yaitu Ki Secamenggala.
Namun seorang pemuda bernama Rasus merasa
sangat kecewa dan sedih mendengar penobatan Srintil sebagai ronggeng Dukuh Paruk.
Ia sangat mencintai Srintil, kekasihnya itu. Ia beranggapan bila Srintil
menjadi seorang ronggeng berarti Srintil menjadi milik semua orang. Setiap
orang bebas meniduri Srintil karena memang begitu kehidupan menjadi seorang
ronggeng. Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada Ki Kertareja, seorang
dukun di dukuh Paruk. Rasus mengetahui bahwa orang yang mendapatkan kesucian
Srintil yang pertama adalah Dower dan Sulam. Karena mereka telah memenangkan
sayembara dengan menyerahkan seringgit uang emas oleh Sulam dan mempersembahkan
seekor kerbau dan dua rupiah yang perak oleh Dower.
Pada suatu malam yang sudah ditentukan Srintil
dinobatkan menjadi seorang ronggeng Dukuh Paruk. Ketika itu diam-diam Rasus
memperhatikan dari jauh. Srintil dibawa ke makam Ki Secamenggala untuk
dimandikan dan menjalani tahap berikutnya menjadi budak kelambu menyerahkan
keperawanannya kepada orang yang memenangkan sayembara tersebut. Pada malam
itu, kedua pemuda malah bertengkar dan saling memperebutkan siapa yang berhak mendapat
giliran pertama meniduri Srintil. Rasus diam-diam mendengar pertengkaran itu
karena sempat melihatnya. Tanpa diduga Srintil menghampiri Rasus yang sedang
bingung di belakang rumah dukun Kertareja. Srintil mohon pada Rasus agar
bersedia mengganti dirinya waktu itu. Setelah Rasus selesai
menggauli Srintil barulah Dower dan Sulam datang.
Setelah menggauli
Srintil, Rasus meninggalkan Dukuh Paruk dan Srintil gadis yang paling dicintai
dan dibenci karena dia telah menjadi seorang ronggeng yang akan menjadi milik
orang banyak. Rasus mengasingkan diri di Desa Dawuran, merenung, mencoba,
melupakan Srintil bahkan ia sempat menolak permintaan Srintil untuk menjadi
suaminya. Rasus memilih memutuskan untuk meninggalkannya dan mengalah serta
membiarkan Srintil menjadi milik orang banyak untuk menjadi Ronggeng yang
membanggakan Dukuh Paruk. Tetapi keputusan itu dan semua yang telah terjadi
pada diri Srintil justru membuatnya menjadi gila. Srintil depresi karena di
usianya yang masih dini, ia harus
menjadi seorang ronggeng yang harus bersedia menjadi milik banyak orang. Selain
itu, Srintil juga stres karena ia tidak bisa hidup bersama dan bahagia dengan
Rasus laki-laki yang sangat disayangi
dan dicintainya. Ia kini menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk.
Novel ini sebenarnya termasuk dalam kategori fiksi, namun
dikemas dalam bentuk nonfiksi.
Pengulasan ataupun penceritaan adegan demi adegan maupun latar tempatnya begitu
terasa nyata seperti memang kisah ini terjadi pada saat itu. Seperti
pengkaitannya terhadap masalah G 30 S/PKI,
seperti benar halnya yang terjadi pada zaman itu. Banyaknya pengkaitan dengan nasionalisme pada
waktu itu juga menambah pemuncakan masalah pada novel ini. Sangat elegan dan
apik dalam pengemasan cerita pada novel ini. Cerita yang hanya seorang ronggeng
dan pedukuhannya dapat menjadi sangat rumit dan menarik. Meskipun tetap
menggunakan alur maju yang yang biasanya monoton.
Bukan main packaging gaya bahasa yang digunakan penulis pada
trilogi ini. Menggunakan kata yang terkesan memiliki tingkat pengesanan yang
dalam, halus dan tersirat. Seperti kata “sasmita” untuk menunjukkan makna
petunjuk alam atau tanda-tanda alam. Pilihan
kata yang berkaitan dengan alam selalu mengawali setiap penceritaan dalam novel
ini. Keadaan alam Dukuh Paruk yang menjadi setting dalam novel ini banyak
terkuak didalam novel ini. Dalam novel ini gaya bahsa lebih kepada majas Personifikasi. Seperti pada kalimat “Bau wangi tanah, suara lembut sayap-sayap
lebah madu, dan pendar embun yang mulai menangkap cahaya dari timur”.
Namun dari sekian keunggulan penggunaan bahasa dalam novel ini, ada
kiranya kita akan terdiam khidmat ketika membaca kata-kata yang tercetak miring
dalam novel ini. Penggunaan bahasa daerah ataupun bisa dikatakan bahasa jawa
yang banyak digunakan dalam novel ini, tidak diberi arti maupun setidaknya
catatan kaki. Misalnya pada tembang-tembang atau lagu-lagu yang dinyanyikan
Srintil, keseluruhan menggunakan bahasa jawa yang tiada mudah dimengerti oleh
khalayak. Tidak sekadar pada tembang-tembang jawa yang susah untuk dimengerti,
mungkin bagi masyarakat Jawa mengerti, ada banyak kata dalam bahasa jawa yang
digunakan pada novel ini. Misalnya kata kewes, angkruk, toblas,
kamukten, dan masih banyak lagi. Pembaca novel ini bukan hanya masyarakat
bumi Jawa, sehingga akan lebih baik jika catatan kaki diberikan pada novel ini.
Apalagi digadang novel ini diterjemahkan kedalam empat bahasa yang berbeda,
kemudian bagaimana para pembaca di luar bahasa kita ini, pastilah sulit
memaknai kata-kata tersebut.
Namun sangat kontras dengan wujud visual dari novel ini yang
dikemas dalam sebuah film berjudul “Sang Penari”. Bayak yang berubah dalam
penceritaan secara visualnya. Dalam memulai penceritaanya saja, film ini berasa
salah kaprah. Srintil yang dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk diceritakan
ditinggal mati kedua orangtuanya sejak bayi, dalam film digambarkan Srintil
telah menjadi anak-anak yang sudah mampu melihat kedua orangtuanya mati akibat
racun tempe bongkrek. Jika benar novel ronggeng Dukuh Paruk adalah inspirasi
untuk novel ini, bisa dikatakan tidak sepenuhnya begitu.
Banyak adegan dalam penceritaan novel hilang. Dalam film Sang
penari, penceritaannya hanya terpusat pada bagaimana sosok Srintil, tidak
dengan bagaimana kisruh-kisruh yang mengelilinginya, sehingga menjadikan
penonton bingung jika menonton film ini. Padahal tidak semua yang menonton film
ini akan membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk terlebih dahulu. Adegan penutup
yang menggambarkan Srintil gila pun tidak pas dalam film ini, sangat jauh
berbeda. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Srintil Gila dalam keadaan dimana Ia
sedang dibawa oleh Bajus, seorang kontraktor dari Jakarta yang sedang bekerja
di daerah Dawuan.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan alur maju yang runtut,
sedangkan dalam film Sang Penari menggunakan alur mundur kemudian baru maju.
Ini dilihat dari penceritaan awal, yaitu Rasus yang pulang ke Dukuh Paruk
setelah kemelut tahun 66, masalah pemberontakan. Secara total, bisa dikatakan
film ini kurang pencitraanya akan novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Namun meskipun banyak bahasa yang susah untuk dicermati, secara
keseluruhan, buku ini bagus dan sangat layak untuk dibaca ataupun sebagai koleksi. Perlu berulang saat membaca novel
ini, tidak cukup hanya satu kali saja untuk mencermati dan mengkaitkan masalh
satu dengan masalah lainnya. Namun secara keseluruhan novel ini bagus untuk
dipetik nilai-nilai kehidupannya. Pesan yang tersampaikan pada novel ini
adalah, bahwasanya barang siapa manusia yang tida berpuhak pada sang khaliq
maka akan terjadilah murka yang begitu adanya dan siapa yang menanam pasti akan
menuai.