Senin, 03 Maret 2014

Tugas Portofolio 1 Psikolinguistik


Mia Awaliyah
A310120201
6F
Pengertian Psikolinguitik
1.      Psycholinguistics cals dirrtly with the prosessis of encoding and decoding as the falestatis of massage to statis of massage to statis of comunication (Osgoad dan Sebeak dalam Pateda,1990).
Terjemahan: “Psikolinguistik secara langsung berhubungan dengan proses orang yang berkomunikasi.”
2.      Psycholinguistics is this study of this relationship between language and the mind (Bloomer, Griffths, and Merrison, 2006: 342).
Terjemahan: “psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan pikiran.”

Komentar:
Dari pengertian yang diajukan oleh para ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa psikolinguistik adalah suatu ilmu interdisipliner yang  membahas hubungan bahasa dengan otak dalam memproses dan mengkomunikasikan ujaran dan dalam akuisisi bahasa. Hal yang penting adalah bagaimana memproses dan menghasilkan ujaran dan bagaimana akuisisi bahasa itu berlangsung.

Daftar Pustaka:
Bloomer, Aileen. Griffths Patrick dan Andrew John Merrison. 2006. Intruducing Language In Use. Routledge Taylor and Prancis Group.
                                
Pateda, Mahsun. 1990. Aspek Psikolinguistik. Yogyakarta: Nusa Indah.

Jumat, 04 Oktober 2013

WABAH SULAP PENAMPILAN



Bagaikan oase di padang pasir. Rumah-rumah perawatan kecantikan, salon-salon kecantikan dan segala jenis klinik  perawatan berlabel kecantikan menjadi tempat kerumunan para wanita yang haus akan kecantikan masa kini. Rumah kecantikanpun mulai menjamur di berbagai tempat, baik yang berkelas, menengah maupun abal-abal. Dengan atau tanpa dokter spesialis kulit, tetap saja menjadi primadona wanita. Wabah ini merebak bukan saja pada kalangan remaja, wanita dewasa yang notabennya memiliki kadar umur yang sudah tinggi alias tua juga mengalami wabah ini. Bertahap atau instant bagaikan dua sisi mata uang yang diperadukan dalam tos, menjadi pilihan para cantikers yang menghambakan pada penampilan. Berbagai paket pilihan dijajakan para pekerja dengan gaya dan berbagai variasi harga.
Harga berarti masalah
            Paket special dan paket-paket lain yang tertera pada daftar menu perawatan  untuk kulit terpampang nyata bagaikan menu-menu pengenyang perut ala makanan asing yang memiliki variasi harga yang membuat penyakit kanker (kantong kering) langsung menyerang. Berpijak pada satuan harga berbagai paket kecantikan yang ditawarkan, langsung membidik pada kekuatan kantong para wanita. Wanita dengan kekuatan ekonomi rendah tidak mungkin memilih paket berkelas yang mungkin saja memiliki mekanisme instant dalam menangani masalah penampilan yang dialami cantikers. Bahkan untuk mendatangi salon berkelas dengan penanganan dokter spesialis kecantikan maupun spesialis kulit saja mereka, wanita berkekuatan ekonomi rendah, enggan.
Hal ini menjadikan mereka mencari alternatif lain dengan mendatangi rumah perawatan abal-abal yang menawarkan harga ekstra standar untuk mengutamakan penampilan. Tentu saja dengan menu-menu yang sama tetapi dengan harga yang berbeda, pastilah ada sesuai bahan ramuan yang dikurangi ataupun tidak sesuai takaran atau bahkan menggunakan bahan lain yang bukan pada faknya tetapi memiliki kemiripan fungsi. Mungkin dalam pemikiran wanita bermodal standar, hal ini adalah solusi yang brilliant untuk menyamakan penampilan wanita berkelas, toh mereka juga pasti bisa berkilah ketika ditanyai tempat perawatan, karena hasil yang terpampang pada penampilan mereka serupa.
Solusi yang dianggap brilliant ini justru awal mula dari sumber masalah baru bagi cantikers. Tidak memahami komposisi ataupun merk produk yang digunakan untuk perawatan, masalah penting yang terlupakan karena hasrat sudah di atas garis normal. Bukan hanya masalah apa jenis produk yang dipakai, masalah tidak adanya tanggung jawab terhadap kegagalan perawatanpun diabaikan. Padahal tingkat kecocokan kulit manusia dalam menerima menu-menu perawatan berbeda. Iritasi adalah dampak yang muncul dan menjadi masalah baru yang kedepannya pasti memunculkan masalah-masalah tambahan lainnya. Misalnya saja pada kasus pemancungan hidung di klinik abal-abal yang tidak ditangani oleh dokter ahli, hidung yang seharusnya mancung seperti pada iming-iming sang ahli abal-abal dan angan-angan cantikers ternyata nihil hasilnya, hidung membesar bagaikan hidung badut. Tidak ada tanggung jawab bukan? Ketika Cantikers menanyakan soal kesalahan praktik, ahli abal-abal tidak memberi jawaban bahkan menghindar.
Lain lagi dengan masalah perawatan wajah, cara praktis  yang tidak didapat dari daftar menu paket klinik kecantikan dengan dokter ahli mewabah bagaikan spora jamur yang tumbuh dimana-mana. Obat-obat berlebel pemutih tersebar di berbagai toko, warung bahkan lapak-lapak kaki lima pasar tradisional. Cantikers bermodal standar akan memilih memakai obat praktis yang buram asal-usulnya dan bahan kandungannya diabaikan dengan tegasnya, ini dikarenakan faktor ekonomi yang berbeda. Bahan berbahaya yang sudah terkenal seperti jenis merkuri yang keberadaannya dalam obat praktis tersebut serasa tidak dipertanyakan. Memakai obat pemutih yang terkontaminasi merkuri dapat mengakibatkan warna kulit berubah, misalnya kulit menjadi bintik-bintik juga dapat menimbulkan iritasi lainnya. Jika memakai dalam jangka waktu yang panjang, merkuri ini bisa mengakibatkan si pemakai mengalami kanker kulit yang berujung pada kematian. Menyeramkan.
Terlihat putih, memang. Kerja dari merkuri adalah menghambat proses pembentukan pigmen warna yang dilakukan oleh enzim tiroksinase sehingga kulit tampak lebih putih. Berhenti memakai produk pemutih yang sudah wajar terkontaminasi merkuri ternyata juga membahayakan, karena merkuri ini juga memiliki efek candu bagi pemakainya. Jika pemakaian terhenti, maka akan menunjukkan tanda-tanda kulit memburuk. Kulit yang semula putih akan kusam bahkan keadaannya bisa lebih parah dari keadaan awal ketika belum memakai obat tersebut. Hal yang paling membahayakan adalah ketika wanita yang sedang mengalami proses kehamilan, karena pengguna obat pemutih buram asal-usul bukan hanya kalangan remaja yang dengan dunia eksisnya dan dunia keababilannya,  merkuri ini dapat membahayakan janin dan bayinya. Merkuri (Hg) dapat menembus plasenta atau alat masuknya sari-sari makanan dari ibu ke bayi yang masih berada dalam kandungan, selain itu juga ASI ibu yang memakai obat pemutih buram asal-usul yang mengandung merkuri juga ikut terkontaminasi racun ini.
Dengan resiko yang mengerikan, akan lebih bijak lagi jika cantikers seharusnya lebih cermat dalam  menggunakan obat pemutih ataupun obat-obatan penunjang kecantikan lainnya. Disinilah letak kelemahan sistem hukum dan pengawasan obat-obatan dan makanan di Indonesia. Bagaimana tidak lemah, terbukti masih dengan mudah menemukan obat-obatan berbahan bahaya yang ditemukan bahkan tersebar di seluruh penjuru lapak-lapak perdagangan. Kinerja dari BPOM dan badan penegakan hukum mulai dipertanyakan. Kemana saja mereka dalam menangani masalah pendistribusian obat-obat buram asal-usul ngawur ramu. Tidak bisakah para antek-antek penegak hukum menciduk oknum-oknum yang tidak sadar pikir ini.
Bahkan mereka tidak bisa menekan pertumbuhan kreator-kreatornya, malah semakin menjamur. Jika pun ditemukan para kreator usil obat buram asal-usul ini, malah semakin membantu menumbuhkan kreasi otak para duniawis lainnya.Dengan bantuan media massa, televisi mempertontonkan cara kretaor tersebut bekerja,  justru ini memicu otak busuk calon kreator bekerja. Penayangan dianggap solusi untuk penyadaran kepada masyarakat, tapi justru dijadikan wahana ilmu gratis. Miris.
Akibat strata harga
            Manusia mempunyai hak yang sama, memiliki keinginan yang sama, memiliki rasa “gengsi” yang relatif sama juga. Jika dilihat pada sifat dasar manusia, lazim jika manusia mempunyai rasa iri terhadap manusia lainnya. Hal ini tidak rekayasa, lihat saja pada diri anda jika teman anda memiliki benda yang terbilang baru pasti anda juga memiliki hasrat memiliki benda tersebut, ini contoh nyata jika manusia mempunyai hasrat dan rasa iri yang tinggi.
Penampilan seseorang berpondasikan pada seberapa kuatnya keuangan mereka. Keuangan tipis, tidak mungkin berpenampilan eksis. Berbeda dengan kalangan high class yang dengan mudah mencukupi  kebutuhan akan penampilan. Perbedaan kekuatan ekonomi ini sangat sensitif dengan timbulnya kecemburuan sosial. Meskipun hanya karena masalah harga baju, bisa merembet pada persoalan yang penuntasannya rumit. Timbul rasa dengki dan sirik terhadap hasil penampilan orang lain, dari sinilah penyakit hati mulai berjangkit. Bagi kaum hawa yang tidak terlalu memikirkan penampilan, kesederhanaan adalah kelaziman, tetapi tidak pada pribadi wanita yang mempunyai hasrat eksis tinggi mungkin ketidakadanya biaya yang cukup tentu mempersulit langkahnya. Dari penyakit hati taraf iri, kini mulai memasuki babak memikirkan bagaimana pemenuhan kebutuhan penampilannya. Hal ini juga yang memicu wanita yang tak tahan dengan godaan zaman menjadi semakin buas.
Bahkan tidak sedikit dari mereka menggunakan cara kotor untuk alat pemuasan kebutuhan mereka. Kriminalitas seperti pencurian maupun penjarahan dan pekerja seks komersial adalah segelintir contoh perbuatan asusila demi pemenuhan kebutuhan akan gaya hidup. Perbedaaan penampilan juga dapat menimbulkan kesenjangan sosial, para wanita yang berkelas tinggi biasanya enggan berteman dengan wanita yang penampilannya biasa-biasa saja. Bahkan mereka cenderung membentuk gank-gank atau kelompok-kelompok sosialita yang mempunyai gaya hidup yang sejalan.

Sebegitu mudahnya membagi strata hanya karena gaya hidup dan penampilan. Bukankah kita tak lagi hidup pada zaman hindu-budha, zaman kerajaan dan zaman penjajahan. Jangan tergerus akan pola komsumtif yang lebay, semakin anda geluti dunia fashionista maka rasa candu akan menggumuli. Semakin anda menghambakan pada penampilan, maka akan dibudakkan anda. Zaman memang semakin berkembang, nikmatilah dan jalanilah dengan irama yang sesuai. Jangan menambah takaran yang tidak sesuai, karena pada sejatinya Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.

Selasa, 25 Juni 2013

Resensi Novel Ronggeng Dukuh Paruk

CALUNG PENDENDANG MURKA
http://www.bookoopedia.com/images/products/ronggeng-dukuh-paruk-edisi-cover-film-sang-penari.jpg
Judul  novel               : Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang                  : Ahmad Tohari
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
Kota terbit                 : Jakarta
Tahun                         : 2011
Halaman                     : 408 halaman

Untuk lelaki, perempuan, dan anak-anak Dukuh Paruk.
Sebuah novel trilogi dari Ahmad Tohari yang menawan. Ronggeng Dukuh paruk adalah kesatuan dari tiga buah buku yaitu, Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalamaan hidup kedesaannya. Maka hampir semua karyanya adalah lapisan bawah dengan latar alam. Dia memiliki keasadaran dan wawasan alam yang begitu jelas terlihat pada tulisan-tulisannya.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini mengulas keadaan rakyat yang terletak di daerah terpencil dan jauh dari naungan rakyat penguasa dan tentang peradaban zaman. Bertahan pada keprimitifan yang dengan kepongahannya. Mengeramatkan seorang bromocorah, Ki Secamenggala. Mengagung-agungkan calung dan ranumnya ronggeng sebagai jati diri sebuah pedukuhan. Miskin, terbelakang, kudisan, kelaparan, gaplek dan tempe bongkrek sebagai penghias alami pedukuhan ini.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini mengisahkan seorang gadis belia yang harus menjadi seorang Ronggeng. Seorang gadis yatim piatu, bernama Srintil. Dia tinggal di sebuah desa yang bernama Dukuh Paruk. Gadis yang masih belia itu harus rela ketika ia dinobatkan menjadi seorang Ronggeng. Penduduk di daerah tersebut dengan gembira menyambut hadirnya seorang Ronggeng sebab hal itu adalah citra Dukuh Paruk sebagai Dukuh Ronggeng yang mampu bangkit kembali dari keterpurukan. Daerah yang kering kerontang, sepi, akan diramaikan lagi dengan tamu dari berbagai desa, uang pun berlimpah di atas panggung Ronggeng Srintil.
 Harumnya, keramatnya Ki Secamenggala kembali menyelimuti keadaan di Dukuh Paruk. Seorang yang paling bahagia dengan penobatan Srintil sebagai seorang Ronggeng adalah Sukarya dan istrinya. Mereka adalah kakek dan nenek Srintil. Mereka merasa usaha mengasuh Srintil dari kecil hingga kini Srintil beranjak menjadi seorang gadis belia yang menawan tidak sia-sia. Srintil diasuh oleh kakek dan neneknya karena orang tua Srintil telah meninggal dunia disebabkan  keracunan tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu. Hingga kini kakek dan neneknya berhasil untuk menjadikan Srintil sebagai seorang ronggeng telah direstui keramat Dukuh Ronggeng, yaitu Ki Secamenggala.
Namun seorang pemuda bernama Rasus merasa sangat kecewa dan sedih mendengar penobatan Srintil sebagai ronggeng Dukuh Paruk. Ia sangat mencintai Srintil, kekasihnya itu. Ia beranggapan bila Srintil menjadi seorang ronggeng berarti Srintil menjadi milik semua orang. Setiap orang bebas meniduri Srintil karena memang begitu kehidupan menjadi seorang ronggeng. Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada Ki Kertareja, seorang dukun di dukuh Paruk. Rasus mengetahui bahwa orang yang mendapatkan kesucian Srintil yang pertama adalah Dower dan Sulam. Karena mereka telah memenangkan sayembara dengan menyerahkan seringgit uang emas oleh Sulam dan mempersembahkan seekor kerbau dan dua rupiah yang perak oleh Dower.
Pada suatu malam yang sudah ditentukan Srintil dinobatkan menjadi seorang ronggeng Dukuh Paruk. Ketika itu diam-diam Rasus memperhatikan dari jauh. Srintil dibawa ke makam Ki Secamenggala untuk dimandikan dan menjalani tahap berikutnya menjadi budak kelambu menyerahkan keperawanannya kepada orang yang memenangkan sayembara tersebut. Pada malam itu, kedua pemuda malah bertengkar dan saling memperebutkan siapa yang berhak mendapat giliran pertama meniduri Srintil. Rasus diam-diam mendengar pertengkaran itu karena sempat melihatnya. Tanpa diduga Srintil menghampiri Rasus yang sedang bingung di belakang rumah dukun Kertareja. Srintil mohon pada Rasus agar bersedia mengganti dirinya waktu itu. Setelah Rasus selesai menggauli Srintil barulah Dower dan Sulam datang.
Setelah menggauli Srintil, Rasus meninggalkan Dukuh Paruk dan Srintil gadis yang paling dicintai dan dibenci karena dia telah menjadi seorang ronggeng yang akan menjadi milik orang banyak. Rasus mengasingkan diri di Desa Dawuran, merenung, mencoba, melupakan Srintil bahkan ia sempat menolak permintaan Srintil untuk menjadi suaminya. Rasus memilih memutuskan untuk meninggalkannya dan mengalah serta membiarkan Srintil menjadi milik orang banyak untuk menjadi Ronggeng yang membanggakan Dukuh Paruk. Tetapi keputusan itu dan semua yang telah terjadi pada diri Srintil justru membuatnya menjadi gila. Srintil depresi karena di usianya  yang masih dini, ia harus menjadi seorang ronggeng yang harus bersedia menjadi milik banyak orang. Selain itu, Srintil juga stres karena ia tidak bisa hidup bersama dan bahagia dengan Rasus laki-laki yang sangat  disayangi dan dicintainya. Ia kini  menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk.
Novel ini sebenarnya termasuk dalam kategori fiksi, namun dikemas  dalam bentuk nonfiksi. Pengulasan ataupun penceritaan adegan demi adegan maupun latar tempatnya begitu terasa nyata seperti memang kisah ini terjadi pada saat itu. Seperti pengkaitannya terhadap masalah G 30 S/PKI, seperti benar halnya yang terjadi pada zaman itu.  Banyaknya pengkaitan dengan nasionalisme pada waktu itu juga menambah pemuncakan masalah pada novel ini. Sangat elegan dan apik dalam pengemasan cerita pada novel ini. Cerita yang hanya seorang ronggeng dan pedukuhannya dapat menjadi sangat rumit dan menarik. Meskipun tetap menggunakan alur maju yang yang biasanya monoton.
Bukan main packaging gaya bahasa yang digunakan penulis pada trilogi ini. Menggunakan kata yang terkesan memiliki tingkat pengesanan yang dalam, halus dan tersirat. Seperti kata “sasmita” untuk menunjukkan makna petunjuk alam atau tanda-tanda alam.  Pilihan kata yang berkaitan dengan alam selalu mengawali setiap penceritaan dalam novel ini. Keadaan alam Dukuh Paruk yang menjadi setting dalam novel ini banyak terkuak didalam novel ini. Dalam novel ini gaya bahsa lebih kepada majas Personifikasi. Seperti pada kalimat “Bau wangi tanah, suara lembut sayap-sayap lebah madu, dan pendar embun yang mulai menangkap cahaya dari timur”.
Namun dari sekian keunggulan penggunaan bahasa dalam novel ini, ada kiranya kita akan terdiam khidmat ketika membaca kata-kata yang tercetak miring dalam novel ini. Penggunaan bahasa daerah ataupun bisa dikatakan bahasa jawa yang banyak digunakan dalam novel ini, tidak diberi arti maupun setidaknya catatan kaki. Misalnya pada tembang-tembang atau lagu-lagu yang dinyanyikan Srintil, keseluruhan menggunakan bahasa jawa yang tiada mudah dimengerti oleh khalayak. Tidak sekadar pada tembang-tembang jawa yang susah untuk dimengerti, mungkin bagi masyarakat Jawa mengerti, ada banyak kata dalam bahasa jawa yang digunakan pada novel ini. Misalnya kata kewes, angkruk, toblas, kamukten, dan masih banyak lagi. Pembaca novel ini bukan hanya masyarakat bumi Jawa, sehingga akan lebih baik jika catatan kaki diberikan pada novel ini. Apalagi digadang novel ini diterjemahkan kedalam empat bahasa yang berbeda, kemudian bagaimana para pembaca di luar bahasa kita ini, pastilah sulit memaknai kata-kata tersebut.
Namun sangat kontras dengan wujud visual dari novel ini yang dikemas dalam sebuah film berjudul “Sang Penari”. Bayak yang berubah dalam penceritaan secara visualnya. Dalam memulai penceritaanya saja, film ini berasa salah kaprah. Srintil yang dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk diceritakan ditinggal mati kedua orangtuanya sejak bayi, dalam film digambarkan Srintil telah menjadi anak-anak yang sudah mampu melihat kedua orangtuanya mati akibat racun tempe bongkrek. Jika benar novel ronggeng Dukuh Paruk adalah inspirasi untuk novel ini, bisa dikatakan tidak sepenuhnya begitu.
Banyak adegan dalam penceritaan novel hilang. Dalam film Sang penari, penceritaannya hanya terpusat pada bagaimana sosok Srintil, tidak dengan bagaimana kisruh-kisruh yang mengelilinginya, sehingga menjadikan penonton bingung jika menonton film ini. Padahal tidak semua yang menonton film ini akan membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk terlebih dahulu. Adegan penutup yang menggambarkan Srintil gila pun tidak pas dalam film ini, sangat jauh berbeda. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Srintil Gila dalam keadaan dimana Ia sedang dibawa oleh Bajus, seorang kontraktor dari Jakarta yang sedang bekerja di daerah Dawuan.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan alur maju yang runtut, sedangkan dalam film Sang Penari menggunakan alur mundur kemudian baru maju. Ini dilihat dari penceritaan awal, yaitu Rasus yang pulang ke Dukuh Paruk setelah kemelut tahun 66, masalah pemberontakan. Secara total, bisa dikatakan film ini kurang pencitraanya akan novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Namun meskipun banyak bahasa yang susah untuk dicermati, secara keseluruhan, buku ini bagus dan sangat layak untuk dibaca ataupun sebagai  koleksi. Perlu berulang saat membaca novel ini, tidak cukup hanya satu kali saja untuk mencermati dan mengkaitkan masalh satu dengan masalah lainnya. Namun secara keseluruhan novel ini bagus untuk dipetik nilai-nilai kehidupannya. Pesan yang tersampaikan pada novel ini adalah, bahwasanya barang siapa manusia yang tida berpuhak pada sang khaliq maka akan terjadilah murka yang begitu adanya dan siapa yang menanam pasti akan menuai. 

cover novel Ronggeng Dukuh paruk