Selasa, 25 Juni 2013

Resensi Novel Ronggeng Dukuh Paruk

CALUNG PENDENDANG MURKA
http://www.bookoopedia.com/images/products/ronggeng-dukuh-paruk-edisi-cover-film-sang-penari.jpg
Judul  novel               : Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang                  : Ahmad Tohari
Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama
Kota terbit                 : Jakarta
Tahun                         : 2011
Halaman                     : 408 halaman

Untuk lelaki, perempuan, dan anak-anak Dukuh Paruk.
Sebuah novel trilogi dari Ahmad Tohari yang menawan. Ronggeng Dukuh paruk adalah kesatuan dari tiga buah buku yaitu, Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalamaan hidup kedesaannya. Maka hampir semua karyanya adalah lapisan bawah dengan latar alam. Dia memiliki keasadaran dan wawasan alam yang begitu jelas terlihat pada tulisan-tulisannya.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini mengulas keadaan rakyat yang terletak di daerah terpencil dan jauh dari naungan rakyat penguasa dan tentang peradaban zaman. Bertahan pada keprimitifan yang dengan kepongahannya. Mengeramatkan seorang bromocorah, Ki Secamenggala. Mengagung-agungkan calung dan ranumnya ronggeng sebagai jati diri sebuah pedukuhan. Miskin, terbelakang, kudisan, kelaparan, gaplek dan tempe bongkrek sebagai penghias alami pedukuhan ini.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini mengisahkan seorang gadis belia yang harus menjadi seorang Ronggeng. Seorang gadis yatim piatu, bernama Srintil. Dia tinggal di sebuah desa yang bernama Dukuh Paruk. Gadis yang masih belia itu harus rela ketika ia dinobatkan menjadi seorang Ronggeng. Penduduk di daerah tersebut dengan gembira menyambut hadirnya seorang Ronggeng sebab hal itu adalah citra Dukuh Paruk sebagai Dukuh Ronggeng yang mampu bangkit kembali dari keterpurukan. Daerah yang kering kerontang, sepi, akan diramaikan lagi dengan tamu dari berbagai desa, uang pun berlimpah di atas panggung Ronggeng Srintil.
 Harumnya, keramatnya Ki Secamenggala kembali menyelimuti keadaan di Dukuh Paruk. Seorang yang paling bahagia dengan penobatan Srintil sebagai seorang Ronggeng adalah Sukarya dan istrinya. Mereka adalah kakek dan nenek Srintil. Mereka merasa usaha mengasuh Srintil dari kecil hingga kini Srintil beranjak menjadi seorang gadis belia yang menawan tidak sia-sia. Srintil diasuh oleh kakek dan neneknya karena orang tua Srintil telah meninggal dunia disebabkan  keracunan tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu. Hingga kini kakek dan neneknya berhasil untuk menjadikan Srintil sebagai seorang ronggeng telah direstui keramat Dukuh Ronggeng, yaitu Ki Secamenggala.
Namun seorang pemuda bernama Rasus merasa sangat kecewa dan sedih mendengar penobatan Srintil sebagai ronggeng Dukuh Paruk. Ia sangat mencintai Srintil, kekasihnya itu. Ia beranggapan bila Srintil menjadi seorang ronggeng berarti Srintil menjadi milik semua orang. Setiap orang bebas meniduri Srintil karena memang begitu kehidupan menjadi seorang ronggeng. Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada Ki Kertareja, seorang dukun di dukuh Paruk. Rasus mengetahui bahwa orang yang mendapatkan kesucian Srintil yang pertama adalah Dower dan Sulam. Karena mereka telah memenangkan sayembara dengan menyerahkan seringgit uang emas oleh Sulam dan mempersembahkan seekor kerbau dan dua rupiah yang perak oleh Dower.
Pada suatu malam yang sudah ditentukan Srintil dinobatkan menjadi seorang ronggeng Dukuh Paruk. Ketika itu diam-diam Rasus memperhatikan dari jauh. Srintil dibawa ke makam Ki Secamenggala untuk dimandikan dan menjalani tahap berikutnya menjadi budak kelambu menyerahkan keperawanannya kepada orang yang memenangkan sayembara tersebut. Pada malam itu, kedua pemuda malah bertengkar dan saling memperebutkan siapa yang berhak mendapat giliran pertama meniduri Srintil. Rasus diam-diam mendengar pertengkaran itu karena sempat melihatnya. Tanpa diduga Srintil menghampiri Rasus yang sedang bingung di belakang rumah dukun Kertareja. Srintil mohon pada Rasus agar bersedia mengganti dirinya waktu itu. Setelah Rasus selesai menggauli Srintil barulah Dower dan Sulam datang.
Setelah menggauli Srintil, Rasus meninggalkan Dukuh Paruk dan Srintil gadis yang paling dicintai dan dibenci karena dia telah menjadi seorang ronggeng yang akan menjadi milik orang banyak. Rasus mengasingkan diri di Desa Dawuran, merenung, mencoba, melupakan Srintil bahkan ia sempat menolak permintaan Srintil untuk menjadi suaminya. Rasus memilih memutuskan untuk meninggalkannya dan mengalah serta membiarkan Srintil menjadi milik orang banyak untuk menjadi Ronggeng yang membanggakan Dukuh Paruk. Tetapi keputusan itu dan semua yang telah terjadi pada diri Srintil justru membuatnya menjadi gila. Srintil depresi karena di usianya  yang masih dini, ia harus menjadi seorang ronggeng yang harus bersedia menjadi milik banyak orang. Selain itu, Srintil juga stres karena ia tidak bisa hidup bersama dan bahagia dengan Rasus laki-laki yang sangat  disayangi dan dicintainya. Ia kini  menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk.
Novel ini sebenarnya termasuk dalam kategori fiksi, namun dikemas  dalam bentuk nonfiksi. Pengulasan ataupun penceritaan adegan demi adegan maupun latar tempatnya begitu terasa nyata seperti memang kisah ini terjadi pada saat itu. Seperti pengkaitannya terhadap masalah G 30 S/PKI, seperti benar halnya yang terjadi pada zaman itu.  Banyaknya pengkaitan dengan nasionalisme pada waktu itu juga menambah pemuncakan masalah pada novel ini. Sangat elegan dan apik dalam pengemasan cerita pada novel ini. Cerita yang hanya seorang ronggeng dan pedukuhannya dapat menjadi sangat rumit dan menarik. Meskipun tetap menggunakan alur maju yang yang biasanya monoton.
Bukan main packaging gaya bahasa yang digunakan penulis pada trilogi ini. Menggunakan kata yang terkesan memiliki tingkat pengesanan yang dalam, halus dan tersirat. Seperti kata “sasmita” untuk menunjukkan makna petunjuk alam atau tanda-tanda alam.  Pilihan kata yang berkaitan dengan alam selalu mengawali setiap penceritaan dalam novel ini. Keadaan alam Dukuh Paruk yang menjadi setting dalam novel ini banyak terkuak didalam novel ini. Dalam novel ini gaya bahsa lebih kepada majas Personifikasi. Seperti pada kalimat “Bau wangi tanah, suara lembut sayap-sayap lebah madu, dan pendar embun yang mulai menangkap cahaya dari timur”.
Namun dari sekian keunggulan penggunaan bahasa dalam novel ini, ada kiranya kita akan terdiam khidmat ketika membaca kata-kata yang tercetak miring dalam novel ini. Penggunaan bahasa daerah ataupun bisa dikatakan bahasa jawa yang banyak digunakan dalam novel ini, tidak diberi arti maupun setidaknya catatan kaki. Misalnya pada tembang-tembang atau lagu-lagu yang dinyanyikan Srintil, keseluruhan menggunakan bahasa jawa yang tiada mudah dimengerti oleh khalayak. Tidak sekadar pada tembang-tembang jawa yang susah untuk dimengerti, mungkin bagi masyarakat Jawa mengerti, ada banyak kata dalam bahasa jawa yang digunakan pada novel ini. Misalnya kata kewes, angkruk, toblas, kamukten, dan masih banyak lagi. Pembaca novel ini bukan hanya masyarakat bumi Jawa, sehingga akan lebih baik jika catatan kaki diberikan pada novel ini. Apalagi digadang novel ini diterjemahkan kedalam empat bahasa yang berbeda, kemudian bagaimana para pembaca di luar bahasa kita ini, pastilah sulit memaknai kata-kata tersebut.
Namun sangat kontras dengan wujud visual dari novel ini yang dikemas dalam sebuah film berjudul “Sang Penari”. Bayak yang berubah dalam penceritaan secara visualnya. Dalam memulai penceritaanya saja, film ini berasa salah kaprah. Srintil yang dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk diceritakan ditinggal mati kedua orangtuanya sejak bayi, dalam film digambarkan Srintil telah menjadi anak-anak yang sudah mampu melihat kedua orangtuanya mati akibat racun tempe bongkrek. Jika benar novel ronggeng Dukuh Paruk adalah inspirasi untuk novel ini, bisa dikatakan tidak sepenuhnya begitu.
Banyak adegan dalam penceritaan novel hilang. Dalam film Sang penari, penceritaannya hanya terpusat pada bagaimana sosok Srintil, tidak dengan bagaimana kisruh-kisruh yang mengelilinginya, sehingga menjadikan penonton bingung jika menonton film ini. Padahal tidak semua yang menonton film ini akan membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk terlebih dahulu. Adegan penutup yang menggambarkan Srintil gila pun tidak pas dalam film ini, sangat jauh berbeda. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa Srintil Gila dalam keadaan dimana Ia sedang dibawa oleh Bajus, seorang kontraktor dari Jakarta yang sedang bekerja di daerah Dawuan.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan alur maju yang runtut, sedangkan dalam film Sang Penari menggunakan alur mundur kemudian baru maju. Ini dilihat dari penceritaan awal, yaitu Rasus yang pulang ke Dukuh Paruk setelah kemelut tahun 66, masalah pemberontakan. Secara total, bisa dikatakan film ini kurang pencitraanya akan novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Namun meskipun banyak bahasa yang susah untuk dicermati, secara keseluruhan, buku ini bagus dan sangat layak untuk dibaca ataupun sebagai  koleksi. Perlu berulang saat membaca novel ini, tidak cukup hanya satu kali saja untuk mencermati dan mengkaitkan masalh satu dengan masalah lainnya. Namun secara keseluruhan novel ini bagus untuk dipetik nilai-nilai kehidupannya. Pesan yang tersampaikan pada novel ini adalah, bahwasanya barang siapa manusia yang tida berpuhak pada sang khaliq maka akan terjadilah murka yang begitu adanya dan siapa yang menanam pasti akan menuai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar